Bukti dan Penghormatan, Monumen Perang Dunia Ke II Biak



Biak memang menjadi saksi bisu Perang Dunia (PD) Ke-II. Peninggalan sejarah perang dunia ini bertaburan di tanah ini. Sebut saja Goa Jepang, salah satu destinasi wisata sejarah di Biak. Tempat ini menyimpan berbagai peninggalan PD II, seperti rudal, topi tentara, bahkan beberapa tulang belulang korban perang masih tersimpan disini (seperti tulisan saya sebelumnya). Tak hanya itu, beberapa foto menunjukkan proses upacara pembakaran tulang belulang dan pemisahan tulang dari arang yang dilakukan oleh keluarga korban yang rela datang ke Indonesia dan dibantu oleh beberapa warga sekitar. Perang sengit ini memakan banyak korban dari pihak Jepang dan Amerika yang berseteru.
Monumen PD Ke II

Nah… untuk menghormati dan menghargai perjuangan mereka, walaupun bukan orang Indonesia. Maka di Biak pun di bangun sebuah monumen yang diberi nama “Monumen Perang Dunia Ke-II”. Terletak di Kampung Paray, Distrik Biak Kota. Untuk mencapai tempat ini cuman membutuhkan waktu sekitar 20 menit. 

Perjalanan saya pun ke monumen ini terlaksana ketika sebelumnya, saya mengujungi Goa Jepang bersama teman menggunakan motor, kami melanjutkan ke “Monumen Perang Dunia Ke-II”. Karena masih di sekitaran Kota Biak, maka untuk mencapai tempat ini tidaklah sulit dan jalanan pun sudah bagus. Lokasinya dekat dengan laut, sehingga selain melihat sejarah, kita dapat menikmati pemandangan laut.

Monumen ini ditandai dengan adanya tulisan di dinding beton “MONUMEN PERANG DUNIA KE II” berwarna merah ditulis dalam tiga bahasa sekaligus, yakni Indonesia, Inggris dan Jepang (tak tau bacanya). Terdapat beberapa tempat duduk berbentuk batu dibuat yang bisa dijadikan sebagai spot foto persis di depan tulisan.
Tulisan di Monumen PD Ke II

Disekitar lokasi monumen dibuat beberapa tempat duduk sebagai tempat untuk beristirahat. 
Tempat duduk 

Sebelum pulang, ada sebuah kejadian yang tak terduga. Ceritanya begini, saat selesai memotret dan mau naik motor, tiba-tiba seorang anak paruh baya datang menghampiri kami. Dia meminta bayaran sebesar Rp 25.000/orang karena sudah memotret di lokasi monumen, mungkin sebagai tiket masuk. Sedikit mahal, dibanding dengan apa yang dapat dinikmati dan nilai jual dari destinasi ini. Disini masalahnya bukanlah besaran tiket masuk, tetapi pengelolaan wisata yang bisa dibilang belum terbilang baik. Seorang anak kecil ditunjuk atau tidak ditunjukan sebagai penjaga tempat wisata ini. Bukannya negative thinking, tetapi saya masih pertanyakan uang Rp. 25.000/orang itu, pembagiannya bagaimana. Apakah pembagiannya bukan hanya untuk penjaga, tetapi sedikit masuk sebagai pendapatan pemerintah dari sektor pariwisata.
Tempat duduk


Sambil memberi uang tiket masuk, saya mengatakan kepada si anak kecil sang penjaga Monumen Perang Dunia Ke II untuk menyediakan tempat sampah dan menjaga kebersihan serta menambah dan memperbaiki fasilitas monument ini, seperti mengecat baru dan menyediakan tempat sampah. Karena saya lihat tak ada tempat sampah di sekitarnya.
Foto dulu kita

Ternyata di belakang tulisan monumen tersebut, terdapat museum mini dimana terdapat beberapa tulang manusia yang disimpan. Tetapi karena tidak tau maka kami tak berkunjung kesana, padahal jaraknya dekat sekali. Baru tau setelah seorang teman mengatakan bahwa ada museum  di monumen, ketika bercerita tentang kunjungan saya. Sayang sekali…..
Jalan Menuju Museum Mini

Post a Comment

0 Comments