Patung Lakipadada di Kolam Makale
Toraja… Kata
yang mungkin tidak asing bagi kita… Siapa yang tidak kenal Toraja ??? Siapa
yang tidak ingin ke Toraja ???. Toraja sudah terkenal sampai ke luar negeri.
Banyak hal yang membuat Toraja dikenal dimana-mana dan ingin untuk mengunjungi
Toraja.
Adat dan budaya
yang turun temurun masih dipelihara sampai sekarang, seperti acara Rambu Solo’
(Pesta Kematian) yang menelan biaya sampai milyaran dan menyembelih kerbau dan
bab* dalam jumlah yang tidak sedikit; Ma’ Pasilaga Tedong (Adu Kerbau) sebagai
bagian dari acara Rambu Solo’ yang tidak sedikit menyita mata para wisatawan
untuk melihat secara langsung; adapula Ma’ Nene, dimana mayat orang yang telah
meninggal dibersihkan dan dipakaikan dengan pakaian yang baru.
Ma' Pasilaga Tedong (Adu Kerbau)
Selain itu,
destinasi wisata yang berada di Toraja yang beranekaragam, Ke’te Kesu’, Lemo,
Londa, Tilangga dan banyak lagi dan yang sementara blooming adalah Negeri di
Atas Awan Lolai dan Patung Tuhan Yesus di Burake serta Wisata Alam Ollon. Tak
kalah terkenal Kopi Toraja dengan cita rasa yang memikat para penikmat kopi.
Toraja salah
satu daerah yang terletak di daratan tinggi Sulawesi Selatan. Wilayah Toraja
dulunya menjadi satu, tetapi karena ada pemekaran maka terbagi menjadi dua
kabupaten, yakni Kabupaten Tana Toraja dengan ibukota Makale dan Kabupaten
Toraja Utara beribukota Rantepao. Walaupun sudah berpisah tetapi tetap
menjadi Sang Torayan. Suku yang mendiami daerah ini adalah Suku Toraja. Konon
katanya suku ini berasal dari daerah sekitar Cina yang datang menggunakan
perahu sehingga sampai di daerah Toraja. Jadi tidak salah jika rumah adat Suku
Toraja, Tongkonan berbentuk seperti perahu pada bagian atapnya.
Pemandangan Kota Makale dari Buntu Burake
Seperti
suku-suku lain di Indonesia, Suku Toraja pun tidak hanya menetap di daerah
Toraja tetapi beberapa dari mereka merantau (termasuk saya… hehehe) ke beberapa daerah di Indonesia bahkan
sampai ke luar negeri. Ada yang merantau untuk menuntut ilmu, mengikuti
suami/istri yang beda suku, mencari pekerjaan dan sebagainya. Salah satu alasan
yang mungkin terdengar konyol tetapi masuk akal adalah banyak orang Toraja
merantau untuk mengumpulkan uang sebagai persiapan ketika ada acara, baik Rambu
Solo’ (Acara Kematian) maupun Rambu Tuka’ (Acara Perkawinan) yang tak
tanggung-tanggun merogoh kocek dan adapula untuk menghindari acara-acara
tersebut.
Salah satu
daerah tujuan rantau Suku Toraja di Indonesia adalah Papua. Papua yang terletak
di sebelah timur Indonesia, menjadi pilihan yang tepat. Pilihan ini tak
sembarang pilihan disamping karena daerah Papua masih jarang dan minim pencari
kerja, gaji pun menggiurkan beberapa kali lipat dibanding daerah lain di
Indonesia walaupun tak bisa dipungkiri kalau biaya hidup di Papua tak
tanggung-tanggung juga.
Biak masuk
kedalam Kabupaten Biak Numfor, Papua yang terpisah dari daratan utama Pulau
Papua. Suku Toraja di Biak seperti halnya daerah-daerah di Papua tergolong
banyak. Ini semakin bertambah dengan berjalannya waktu, karena beberapa orang
Toraja sudah berpuluh-puluh tahun merantau ke Biak bahkan sampai beranak cucu
beberapa turunan. Persatuan Suku Toraja di Biak bernama Ikatan Keluarga Toraja
(IKT) Kabupaten Biak Numfor.
Persatuan Suku
Toraja di tanah rantau tak bisa dielakkan lagi, persatuan mereka sangat erat
dan kuat. Seperti halnya di Biak, persatuan Suku Toraja tidak diragukan lagi
terlihat dengan adanya sebuah gedung yang didirikan sebagai sekretariat
sekaligus sebagai pusat kegiatan Suku Toraja. Bangunan ini dibuat menyerupai
rumah adat Toraja, yakni Tongkonan sehingga disebut Tongkonan yang terletak di
daerah Samofa. Di tempat ini beberapa kegiatan sering dilakukan, seperti
Perayaan Natal, Ibadah Gabungan, Lomba-Lomba dan sebagainya. Serta tidak
menutup kemungkinan bahwa gedung ini disewakan bagi siapa pun yang akan
melaksanakan kegiatan. Persatuan Suku Toraja dibeberapa daerah, termasuk di
Biak tidak hanya sampai di Batasan Suku Toraja saja, melainkan beberapa daerah
yang ada di Toraja membuat persatuan juga yang lebih kecil.
Saya pun melihat
dan merasakan secara langsung saat saya pindah dari Kupang, Nusa Tenggara Timur
ke Biak, Papua. Orang Toraja di Biak lumayan banyak dan persatuan mereka sangat
erat dan kuat. Ini saya lihat ketika ada pawai yang dilaksanakan oleh
pemerintah, disitu salah satu yang mengambil bagian adalah Suku Toraja (read.
IKT Kab. Biak Numfor) dengan mengandalkan adat dan budaya Toraja, seperti
menggunakan pakaian tradisional Toraja, mempertunjukkan tarian Toraja, mobil
hias dengan dekorasi ala Toraja dan beberapa lainnya. Lanjut ketika saya pun
mulai mengikuti ibadah pemuda yang dilaksanakan setiap hari minggu dan perayaan
natal Pemuda IKT. Persatuan tersebut tersu berlanjut…
Awal tahun 2017
ini, untuk semakin mempererat hubungan Pemuda IKT di Kabupaten Biak Numfor, pengurus
pun memiliki program untuk mengadakan ibadah pelayanan awal tahun yang
dilaksanakan di tempat yang tidak biasa (mungkin hanya bagi saya... hehehe). Biasanya ibadah Pemuda IKT dilaksanakan di
rumah-rumah pemuda Toraja, kali ini ibadahnya outdoor sekaligus piknik.
Tongkonan
menjadi meeting point kami dan melanjutkan ke arah timur menuju Pantai Opiaref.
Kumpul di Tongkonan
Pantai Opiaref
yang terletak di Distrik Biak Timur menjadi pilihan untuk mengadakan ibadah
outdoor. Pantai ini cukup mudah dijangkau, dari Kota Biak menuju arah timur
sekitar 30 menitan dengan jalan yang sudah mendukung. Hamparan pasir putih
sepanjang pantai menyatu dengan birunya air laut menjadi magnet untuk menarik
wisatawan untuk berkunjung. Tak ayal jika saat kami melaksanakan ibadah
outdoor, beberapa wisatawan sedang menikmati dan bersantai di Pantai Opiaref.
Tiba di Pantai Opiaref
Ibadah Pemuda
IKT di Pantai Opiaref diawali dengan ibadah. Pelaksanaan ibadah diselingi
dengan games, pemuda dibagi ke dalam beberapa kelompok.
Ibadah
Dilanjutkan
dengan makan siang yang telah dipersiapkan pengurus…
Makan sebelum nyebur
Habis makan
siang, rekreasi. Pasir putih, birunya air laut menjadi magnet untuk bermain
air. Berenang dan snorkeling menjadi pilihan kami. Beberapa anak-anak yang
memang tinggal disekitaran Pantai Opiaref tak ketinggalan untuk menikmati alam
yang indah. Ada yang menggunakan ban dalam bekas sebagai pengganti pelampung
Menikmati Pantai Opiaref
Hal yang asing
sempat saya lihat yang dilakukan oleh anak-anak. Jika pada umumnya dan semua
orang yang suka surfing menggunakan papan selancar untuk menaklukkan tingginya
deburan ombak, tetapi berbeda dengan anak-anak ini. Mereka menggunakan papan
kayu sebagai papan selancar. Walaupun menggunakan alat seadanya, mereka tetapi
semangat menunggu ombak yang datang, meletakkan papan kayu di atas ombak, tidur
di atas papan sambil mendayung kaki dan terbawa oleh ombak. Itulah surfing ala
anak-anak Biak. Kreatifffff…
Pengganti Pelampung
Penasaran dan ingin
mencoba, saya meminjam papan salah seorang anak. Saat mereka melakukan surfing
ala anak Biak terlihat sangat mudah, tetapi saat saya mencoba ternyata susah
tak segampang yang terlihat dan dilakukan oleh anak-anak tersebut. Atau mungkin
karena ukuran tubuh saya yang lebih besar dari anak-anak, sedangkan ukuran
papan kayu tak seberapa sehingga tidak bisa menopang tubuh saya atau teknik
saya yang salah… Hahaha… Setidaknya sudah mencoba…
Surfing ala Anak Biak
Waktu semakin
sore, walaupun belum puas menikmati Pantai Bosnik. Kami kembali ke kota.
0 Comments